Ayah (Cinta Itu Menumbuhkan)


Ayah mengantarku ke loket bus untuk berangkat kepadang, dengan motor maticnya vario techno warna putih, angin sepoi wajah ayahku, dan aroma kulitnya yang kering bersarang di bulu hidungku, itu adalah bau matahari yang telah mengeringkan lumpur-lumpur sawah yang digali petani untuk menimbun pematang-pematang sawahnya agar tetap tinggi. Ayahku adalah petani, tentu sudah terbiasa berpanas-panas dibawah langit sawah bandang,  nama lahan persawahan dikampungku. Inilah satu pelajaran dari perjuangan ayah “berpanas-panaslah sebelum terang”.

Dalam sistem administrasi pendidikan di Indonesia, kita akan menemui kolom pekerjaan orangtua (ayah). Mengisi kolom pekerjaan “ayah” dengan kata “petani” adalah hal yang membuat sebagian orang minder untuk menuliskannya, tapi tidak untukku. Aku tumbuh dan berkembang dengan didikannya sebagai petani. Dan kalaulah aku hidup jauh dari mereka dan harus mandiri maka kemampuan yang paling memungkinkan aku untuk bertahan hidup adalah dengan bertani, tentu itu keterampilan hidup yang diajarkannya. Dengan cinta ayah telah menumbuhkan ku dengan kemampuan mempertahankan kehidupan dengan bertani.

Sebelum menaiki bus dengan tujuan padang, kuciumi tangan ayah, punngung tangannya hitam hangus terbakar matahari, kulit arinya mulai mengelupas. Aku tahu tentu itu adalah lumpur sawah bandang yang menguap dan mengering di punggung tangannya. Jari-jarinya sudah keras, “cangkul cabak” yang digunakannya tidak begitu bersahabat dengan genggamannya, hatiku ngilu menciuminya.

Dilubuk hatiku yang paling dalam, aku simpan bau itu rapat-rapat, di dalam kotak yang ku tempatkan disisi kotak yang berisi bau tangan ibu, lalu aku rapikan dalam ruangan senjata, bilamana rindu datang, aku membukanya.

Komentar

Postingan Populer