Perspektif Berpikir Liberal (Baca: JIL)
Perspektif Berpikir Liberal (Baca: JIL)
Oleh: Andri Oktavianas
Dalam tulisan ini saya ingin melihat berpikir liberal yang benar benar
liberal. Liberal dari segala arah, liberal dalam memutuskan tanpa tekanan, dan
kesejatian liberal itu sendiri.
Dalam konteks berpikir liberal (berpikir Jaringan Islam Liberal) ada kata
yang perlu digaris bawahi, yaitu Islam Liberal. Otomatis kalau ingin memikirkan
Islam itu sendiri harus mengenal dulu Islam itu secara utuh, atau setidaknya
apa yang menjadi pokok-pokok Islam itu sendiri. Karena disini Islam yang di
jadikan objek pemikiran maka sewajarnya dikenal dulu Islam secara Objektif,
baru dipikirkan secara bebas berdasarkan ke objektifitasnya. Nah apakah lantas
dengan seperti ini makna berpikir ‘Liberal’ itu hilang. Justru dengan seperti
ini saya masih menganggap orang yang mengusung berpikir Liberal dalam Islam
(JIL) masih ‘ada’ jiwa “Intelektual’’nya. Karena kalau dibebaskan dari dasar
hingga cabang-cabangnya maka orang bodoh, orang gila, orang tidak kenal islam
pun bisa dimasukan dalam pemikir ‘Liberal’, tentu mereka (sebut JIL) tidak mau
karena mereka menamkan diri intelektual bahkan ‘cendekiawan’.
Liberal secara gamblang dapat diartikan sebagai kebebasan, bebas, tidak
ada keterikatan. Sedangkan dalam berpikir liberal yang di usung oleh Jaringan
Islam Liberal (JIL) objek yang diliberalkan adalah Islam itu sendiri. Dalam hal
ini tentu timbul sebuah kerancuan dalam makna, dalam kaidah, ataupun dari sudut
pandang defenisi “Islam Liberal” itu sendiri. Namun yang dibahas kali ini
adalah “Berpikir Liberal”. Mengenai berpikir liberal (dalam konteks JIL) saya mengambil beberapa point untuk melihat
apakah JIL benar-benar memiliki pemikiran yang liberal (bebas, merdeka) sejati
atau tidak ;
1. 1. Bebas memikirkan Islam
§
Bebas memikirkan Islam dari perspektif timur
ataupun barat
Dalam konteks ini setelah dipandang
Islam dalam kemurniannya maka dipandang juga dari perspektif besar pandangan
Islam yaitu timur dan barat. Dan memikirkan islam tidak bisa serta merta
memulainya tanpa mengenalinya secara objektif terlebih dahulu, agar peninjauan secara
“intelektual” tetap ada. Berpikir tentang Islam jika dimulai dari opini barat
saja tentang islam dan senantiasa melihat Islam sebagai hal yang harus
disesuaikan dengan barat, tanpa dimulai dengan pengenalan secara objektif
tentang islam, maka inikah yang disebut Liberal ? kalau seperti ini arti kata
liberal itu sendiri sebagai kebebasan akan hilang, atau tetap disebut ‘Liberal’
dengan syarat ke “Intelektual”an dari pemikir itu dicabut, karena dengan
seperti itu semua orang bisa masuk dalam ranah berpikir Liberal seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya. Dan pilihan lain kalau tetap dipaksakan dimulai
dari Objektifitas Islam itu sendiri, maka manakah yang lebih tepat “Islam
Liberal” atau “Agama Liberal” ?
§
Bebas memikirkan Islam berdasarkan perspektif
Iman, keilmuan dan logika
Dalam hal perspektif iman, keilmuan
dan logika juga sewajarnya dimulai dari objektifitas Islam itu sendiri. Kalau
Islam dipandang hanya dari segi ketidak sukaan (nafsu, amarah), atau hanya
dipandang dari opini dari yang memiliki kepentingan maka lagi-lagi hilanglah
makna “Liberal” itu sendiri. Lalu kenapa masih dikatakan Islam Liberal ?
Keilmuan sangat mendukung dalam
terciptanya ke-validan dalam berlogika, jika tidak berdasrkan keilmuan yang
jelas maka kelas pemikiran “Liberal” akan setara dengan orang-orang tak
berilmu, awam, bodoh, dsb. Sebagai
contoh nyata:
“Ketika ada golongan (baca: JIL) yang dalam pembelaanya terhadap Ahmadyiah
habis-habisan dengan dalih bahwa Mirza Ghulam ahmad tidak pernah mengaku
sebagai Nabi”. Jika dikaji dalam keilmuan Ahmadyah sendiri pernyataan seperti
ini bertentangan dengan salah satu buku terpenting milik Ahmadyah yaitu
“Tadzkirah” atau dalam bahasa Inggris “Tadhkirah”. Dalam catatan kakinya “In
this revelation God has named me ‘rsul’[Messengers], for as has been set out in
Barahin-e-Ahmadiyyah, God Almighty has made me a manifestation of all prophets,
and has given me their name. I am Adam, I am Shit, I am Nuh, I am
Ibrahim,....”(Ghulam Ahmad, Tadhkirah, Tilford: Islam International
Publications, 2009, hlm 850).
Ini merupakan penghilangan ke
“intelektual” itu sendiri, sehingga terkesan asal-asalan.
§
Bebas memandang islam dari sudut pandang orang
yang berilmu pengetahuan (Ulama), Pembelajar Islam (Pembela, Pembenci)
Kalau Liberalis sejati akan
memikirkan islam dengan sudut pandang yang luas (karena bebas) kalau seandainya
sudut pandang yang dipakai hanya satu sudut pandang dan membatasi diri dengan
satu sudut pandang maka ke”Liberalan” nya masih belum di anggap sempurna. Dan
bagi Liberalis sejati seyogyanya mengambil sudut pandang yang betul-betul luas
seperti yang dijelaskan sebelumnya.
§
Bebas memandang Islam dari segi
empirik/peradaban/sejarah
Tidak bisa dipungkiri sejarah adalah
cikal-bakal kehidupan disetiap zaman. Pola pemikiran/sudut pandang dalam
keilmuanpun akan tersambung pada sejarah.
Jika keempat point ini benar-benar dijadikan sudut pandang yang menyeluruh
dan luas dalam pemikiran orang-orang ‘Liberal’ maka barulah mereka disebut
orang-orang dengan pemikiran ‘Liberal’ sejati. Dan berdasarkan keluasan
pemikiran yang dilakukannya orang-orang ‘Liberal’ sejati yang jujur pada
dirinya akan kembali pada kemurnian ajaran Islam, dan menjadi Pembela ISLAM.
2. 2. Dalam memikirkan Islam jika hanya dipandang
dari sudut pandang barat, dan menyalahkan sudut pandang timur (Ex; Orientalis
menyalahkan Ulama) Maka apakah ini berarti kebebasan dalam berpikir? Atau hanya
bebas dalam arti kata realtif.
Kebebasan (kemerdekaan) dalam berpikir tentu bisa memandang dalam sudut
pandang yang lebih luas. Jika ada hal yang relatif maka penggandengnya ada
Absolut. Jika mengatakan segala sesuatu hal adalah relatif maka ada ketidak
seimbangan dalam pemikiran terjadi. Kesadaran akan adanya hal yang Absolut dan
Relatif merupakan sebuah keluasan dalam berpikir, tidak hanya berada pada satu
titik. Kalau hanya terkukung dalam kata relatif maka relatif itu sendiri
merupakan penjara buat pemikiran. Dan Islam dalam kemurniannya merupakan ajaran
yang memiliki ke Absolutan seperti Allah adalah Tuhan yang tidak ada Tuhan
selainNya, dan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Terakhir. Dan juga ada ke
Relatifannya seperti dalam kehidupan dalam masyarakat yang terus berkembang
yang tidak disebutkan secara eksplisit Al-Qur’an dan Hadits.Namun tetap merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah
Karena Islam adalah agama yang sempurna, cocok dengan setiap zaman.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)
"aku tinggalkan (wariskan) kepadamu dua perkara, kitabullah dan sunnah nabi, kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh pada keduanya" (HR Malik)
Allahu A’lam
Karena Islam adalah agama yang sempurna, cocok dengan setiap zaman.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)
"aku tinggalkan (wariskan) kepadamu dua perkara, kitabullah dan sunnah nabi, kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh pada keduanya" (HR Malik)
Allahu A’lam
Komentar
Posting Komentar